Dosa Pelangi
Aku terpaksa meninggalkan anak-anak dan istriku demi bekerja sebagai OB di salah satu perusahaan di kota ini. Tidak mungkin aku membawa mereka kesini karena anak-anakku bersekolah di kampung sana.
Lagi pula aku tidak berencana selamanya disini. Setelah kurasa uangku terkumpul mungkin selama dua tahun, aku akan kembali ke kampung. Toh, istriku di kampung bisa mencari uang sendiri dengan membantu orang-orang di sawah, kebun atau di tempat peternakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan uang gajiku kusimpan untuk bekal buka usaha di kampung. Uang makan dikasih dan aku pun tinggal di tempatku bekerja. Jadi gajiku utuh.
Aku tidak mau selamanya kerja di kota dan berpisah dari keluarga. Apalagi kedua anak-anakku sudah besar-besar dan umurku tidak muda lagi.
***
Ada pegawai OB baru yang berasal dari luar pulau, masih muda. Namanya Tria. Senyumnya benar-benar memikat hatiku. Aku benar-benar terbius dan terpesona oleh rupanya yang manis dan menawan. Ah... Mengapa harus seperti ini?
Aku selalu ingin dekat dengannya. Jantungku selalu berdegup kencang apabila bersamanya. Aku senang ngobrol dan makan bareng dengannya. Dia sangat baik dan ramah sehingga kami dengan cepat bisa berteman dekat. Sangat dekat.
Aku menatap matanya lekat-lekat, kutahu Tria pun memiliki perasaan yang sama denganku. Aku berusaha menepis perasaanku padanya. Namun tidak bisa. Walaupun aku tahu perasaan ini terlarang.
Aku selalu sholat lima waktu sesibuk apapun pekerjaanku. Aku berharap bisa menjaga diri dari hal yang tidak-tidak.
***
Lebaran kali ini aku tidak pulang sehingga aku mendapat giliran lembur bersama Tria karena ia pun tidak pulang karena ia belum lama kerja di sini. Jadi kami hanya berdua yang menginap di gedung ini. Karena pekerja lain yang lembur tidak tidur di sini, mereka pulang ke rumah masing-masing.
Aku sangat senang sekali karena memiliki banyak waktu bersamanya saat makan malam. Hanya berdua.
Aku tahu semakin hari aku makin tidak mau jauh darinya. Ingin rasanya aku terus disini bersamanya.
"Malam ini bolehkah aku tidur di kamarmu, Tria?" tanyaku sambil menahan malu. Bulir-bulir keringat dingin mulai membasahi tubuhku.
"Tentu saja," jawab Tria ramah.
Dalam hati aku bersorak girang.
***
Dalam kamar aku tidur seranjang dengan Tria. Kami bercerita macam-macam sebelum tidur. Harapannya, kampung halamannya, kisah hidupnya. Aku dengan senang hati mendengarkan ceritanya sambil tidak bosan melihat wajahnya.
Saat akan tidur aku memberanikan diri untuk memeluknya. Ternyata dia diam saja. Aku senang sekali. Ingin rasanya seperti ini terus.
Selama seminggu aku tidur seranjang dengan Tria. Tapi aku tidak berani macam-macam. Paling banter aku cuma berani mengecup lehernya sampai menimbulkan bekas merah. Mungkin namanya bukan mengecup, karena kalau hanya sekedar mengecup tidak mungkin meninggalkan bekas merah.
Aku tersenyum tiap kali melihat bekas merah di lehernya itu. Begitu pun dengan Tria. Wajah putihnya langsung memerah.
Tapi mulai Minggu depan aku tidak bisa sebebas ini lagi karena para pekerja yang lain yang juga tinggal di sini akan kembali masuk kerja.
***
Belum genap setahun aku bekerja di kota ini. Aku dihadapkan pada masalah yang sangat membuatku marah. Aku dituduh mencuri. Padahal aku tidak melakukannya.
Aku tahu ada yang tidak suka padaku. Mungkin ada yang tidak suka aku dekat dengan Tria.
Dengan terpaksa aku harus pulang kampung. Situasi sudah sangat tidak nyaman di sana. Walaupun aku sangat bersedih harus berpisah dengan Tria.
***
"Lebaran Idul Adha main ke rumahku dong, Tria," aku menelepon Tria, memohonnya untuk main ke rumahku karena ia mendapat jatah libur.
Sejak aku tidak lagi bekerja bersama Tria, setiap hari kami selalu chat via WhatsApp. Sehingga walaupun kini aku tidak lagi dekat dengan Tria namun kami tidak pernah putus kontak. Lama kelamaan istriku cemburu. Aneh.
"Kenapa harus cemburu pada Tria, Mah? Dia kan hanya teman," ucapku pada istriku yang tidak terima karena aku sering mengabaikannya dan memilih untuk berchat ria dengan Tria. Aku tidak peduli.
***
Biasanya setiap lebaran, entah itu Idul Fitri maupun Idul Adha, aku sekeluarga selalu mendatangi rumah mertuaku. Semua saudara akan kumpul di sana. Tapi tidak hari ini. Aku sengaja menunggu Tria di rumah.
Biar saja mereka semua pergi. Justru aku senang bisa leluasa di sini. Aku tahu istriku marah ketika pergi tadi bersama anak-anak, tapi aku tidak peduli. Yang penting aku senang sekali hari ini. Aku akan bertemu Tria.
Sesuai janji Tria pas lebaran idul Adha, siangnya Tria sudah sampai di rumahku. Tria datang bersama Eko teman OB kami. Aku tidak keberatan. Karena kalau perjalanan jauh lebih enak kalau ada teman.
Aku segera memeluk erat tubuh Tria. Aku begitu kangen padanya. Tria membalas pelukanku. Aku senang sekali.
Aku pun memeluk tubuh Eko. Sepertinya dia tidak senang dan berusaha melepaskan diri. Uh, memangnya kenapa kalau aku memeluknya. Ah, aku tidak peduli.
Aku menyuruh Eko duduk di ruang tamu yang sudah aku siapkan minuman dan aneka makanan kecil. Sedangkan aku langsung menarik tangan Tria untuk masuk ke kamarku. Kubiarkan Eko sendiri di ruang tamu.
Aku dan Tria tidur berdua di atas ranjang di kamarku. Seperti biasa kami bercerita banyak. Aku kangen sekali padanya.
Tidak terasa sudah sore. Tria dan Eko pamit pulang. Aku melihat Eko melirik ke arah leher Tria dengan tatapan jijik. Ada bekas merah di sana. Biar saja, aku tidak peduli. Toh, kami tidak macam-macam.
***
Aku mendapatkan warisan penjualan rumah bapak. Aku pun langsung membuka toko kelontong lengkap di depan rumah. Mulai dari sembako, sayur mayur, sabun, gas sampai sapu pun ada di tokoku.
Aku dan istriku semakin sibuk, setiap hari ramai saja pembeli. Namun aku sebisa mungkin tetap berkomunikasi via chat dengan Tria walaupun tidak sesering dulu.
Tria mengabarkan kalau dirinya tidak lagi bekerja di sana, sekarang ia sudah pulang kampung. Katanya kepalanya sering sakit. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik buatnya. Walaupun sebenarnya aku sedih sekali karena aku tidak tahu kapan aku bisa berjumpa lagi dengan Tria.
***
Hari ini perasaanku tidak enak. Dari kemarin gawai Tria tidak aktif. Pesanku tidak satupun ada balasan.
Aku melayani pembeli dengan malas, pikiranku tidak bisa fokus.
Tiba-tiba notifikasi dari gawaiku berbunyi. Segera aku membukanya. Aku membelalakkan mataku tidak percaya.
Aku tinggalkan para pembeli begitu saja. Tidak kuhiraukan istriku yang memanggilku. Aku langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Aku menangis sejadinya.
Setelah puas menangis, aku ambil gawaiku. Aku hubungi Eko dan beberapa teman Tria untuk menanyakan kabar tentang Tria. Namun tidak ada yang tahu. Akhirnya mereka justru tahu kabar tentang meninggalnya Tria dariku.
Ya. Tria sudah meninggal tadi malam karena tumor otak. Barusan kakaknya yang mengabariku lewat gawai Tria. Aku begitu terpukul. Aku masih tidak percaya. Itulah sebabnya aku menghubungi teman-teman Tria sambil berharap bahwa berita ini tidak benar. Tapi justru akulah yang mengabarkan kepada mereka tentang meninggalnya Tria.
***
Aku masih tidak percaya. Aku mencoba menelepon gawainya. Kakaknya yang menjawab. Aku memintanya untuk mengambil foto kuburan Tria. Karena aku tidak mungkin melayat ke sana. Kampung halaman Tria begitu jauh karena berbeda pulau.
Aku menatap nanar foto kuburan Tria. Batu nisannya bertuliskan:
Satria bin Mahmud
Lahir: 8 Juli 1995
Meninggal: 25 Maret 2019
Mungkin ini teguran buatku. Aku sadar aku salah dan berlumur dosa.
Mulai detik ini aku bertobat. Terimalah tobatku Ya Allah. Maafkan aku istriku.
Doaku selalu untukmu. Semoga kau tenang di alam sana. Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosamu, dosa-dosa kita.
***
Tolong jangan jijik kepadaku. Aku ini normal. Buktinya aku sudah punya anak istri.
Jangan sebut aku homo, gay, biseksual apalagi bencong. Kami tidak bencong. Kami lelaki ganteng dan gagah. Kami pun tidak pernah melakukan hubungan seksual terlarang. Aku hanya melakukannya bersama istriku seorang. Aku mencintai dan menyayangi istriku.
Aku pun tidak pernah ingin ada hukum yang melegalkan hubungan sesama jenis. Sungguh.
Aku tahu kami pernah salah. Tapi jangan pernah jijik pada kami. Karena kami pun ingin sembuh.
Aku tidak mau lagi jatuh ke lubang yang sama. Aku akan menyibukkan diri dengan aktivitas di rumah dan lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah. Aku yakin aku butuh dirukyah.
Jangan jauhi kami. Kami butuh dukungan untuk sembuh. Karena kami pun menolak LGBT.
SELESAI.
